Sejarah
Wirasaba membuka kisah dengan menampilkan dinasti Wirasaba yang menjadi leluhur
Banyumas. Dinasti Lokal ini berkaitan dengan Majapahit. Salah seorang putra
raja Majapahit pergi berkelana ke Padjadjaran dan kimpoi dengan Putri Pamekas.
Perkimpoian itu menghasilkan putra yang bernama Raden Katuhu. Di sini, tidak
disebut putra-putra Raden Baribin. Raden Katuhu dikisahkan menjadi adipati di
Wirasaba dengan gelar Adipati Warga Utama berputra Dipati Urang dan Dipati
Urang berputra Adipati Sutawinata (Surawin).
Kemudian,
cerita sisipan Ki Tolih dihadirkan. Raja Negeri Keling memerintahkan Ki Tolih
untuk membunuh raja Majapahit Brawijaya. Namun usaha itu gagal, bahkan Ki Tolih
dapat di tawan oleh Ki Gajah. Sementara itu kuda milik baginda mengamuk di ibu
kota Majapahit dan tak seorang pun yang berani menangkap kuda itu. Lalu, Raja
Brawijaya mengadakan sayembara barang siapa yang dapat menangkap kuda akan
mendapat hadiah tanah dan puteri. Ki Tolih sebagai tawanan memberanikan diri
mengikuti sayembara. Akhirnya, Ki Tolih berhasil menaklukkan kuda itu dengan
mudah. Ternyata kuda milik baginda raja kemasukan roh Burung Endra yang mati
dibunuh oleh Ki Gajah. Sebagai seorang pemenang sayembara, Ki Tolih menolak
hadiah raja. Yang diminta adalah keris gajah Endra yang dibawanya dari Negeri
Keling. Ki Tolih kemudian mengembara dan sampai di daerah Kaleng dan mengabdi
pada Adipati Kaleng. Rakyat Kaleng hidup makmur, murah sandang dan pangan.
Adipati
Surawin (Sutawinata) telah berputra, yaitu Raden Tambangan yang kimpoi dengan
putri Banyak Geleng Pasirbatang Dewi Lungge. Perkimpoian ini melahirkan tiga
orang anak, yaitu Raden Warga (Warga Utama I), Jaka Gumingsir dan Ki Toyareka.
Raden Tambangan menjadi adipati Wirasaba pada masa pemerintahaan Demak dengan
gelar Sura Utama. Sepeninggal Raden Warga menggantikan kedudukan ayahnya dengan
gelar Warga Utama I.
Jaka Kaiman Mengabdi
Adipati
Warga Utama I mempunyai banyak panakawan yang diambil dari para peringgi dan
kadipaten Wirasaba. Para panakawan tidur di halaman. Pada bulan purnama,
Adipati Warga Utama melihat cahaya masuk ke dalam tubuh salah seorang panakawan
dari Kejawar yang tidak dikenal oleh Sang Adipati. Oleh karena itu, Sang
Adipati merobek bebed panakawan Kejawar sebagai bukti.
Pagi
harinya, panakawan dari Kejawar dipanggil, lalu ia diberitahu bahwa ia akan
dijadikan menantu. Jaka Kaiman, panakawan dari Kejawar akan dinikahkan dengan
puteri Adipati Warga Utama yang bernama Raden Sukartimas dan uang lima riyal
sebagai pitukon. Kaiman disuruh pulang oleh Sang Adipati agar memberitahukan
ayahnya. Tidak lama kemudian, dua orang utusan Wirasaba datang membawa surat
pemberitahuan bahwa Kaiman akan diambil sebagai menantu dengan pitukon lima
riyal. Karena tidak mampu, Kiai Mranggi Kejawar meminta bantuan keuangan kepada
Banyak Kumara di Kaleng. Di situ, Kiai Mranggi berjumpa dengan Ki Tolih.
Pertemuan ini amat berarti bagi Kaiman di kemudian hari. Ki Tolih memesan
wrangka keris kepada Kiai Mranggi dan keris Gajah Endra dibawa pulang ke
Kejawar. Ki Tolih kemudian menghasiahkan keris Gajah Endra kepada Jaka Kaiman.
Ki Tolih juga meramalkan Kaiman menjadi penguasa di Wirasaba. Keris Gajah Endra
dilarang dibawa ke medan perang selama tujuh turunan.
Sejarah Wirasaba (Pantangan Hari
Naas Sabtu Pahing)
Adipati
Warga Utama I mempunyai empat orang anak, yaitu (1) seorang putri yang menikah
dengan putra Mranggi Kejawar (Jaka Kaiman), (2) Ki Ageng Senon, (3) Ki Ngabehi
Wargawijaya dan (4) seorang putri yang dinikahkan dengan putra Ki Demang
Toyareka.
Fitnah Ki Demang Toyareka
Perkimpoian
putri bungsu dengan putra Ki Demang Toyareka ini elik. Oleh karena itu,
perkimpoian ini diceraikan dengan hukum Islam oleh Sang Adipati.
Tidak
lama kemudian, Sultan Pajang meminta kepada seluruh adipati bawahannya agar
mengirimkan seorang putri untuk dijadikan pelara-lara.
Sang
Adipati Wirasaba mengirimkan putri bungsunya (bekas menantu Ki Demang Toyareka)
kepada Sultan Pajang. Putra Demang Toyareka amat marah mendengar bekas istrinya
diserahkan kepada Sultan Pajang. Oleh karena itu, ia bersama lima orang
pengiringnya pergi ke Pajang untuk meminta keadilan Sultan Pajang.
Kemudian
orang-orang Toyareka berjemur di dekat pohon beringin kembar dan diperiksa oleh
gandek. Putra Demang Toyareka menyatakan bahwa istrinya diserahkan kepada
Sultan oleh Sang Adipati Wirasaba.
Pengaduan
itu kemudian dilaporkan kepada Sultan. Sultan sangat marah dan menjatuhkan
hukuman mati bagi Adipati Wirasaba yang sedang dalam perjalanan pulang menuju
Wirasaba setelah menyerahkan
putrinya. Sultan bagai keranjingan iblis tanpa memeriksa wanita yang bermasalah
itu.
Lalu,
beliau mengirimkan tiga orang gandek untuk melaksanakan eksekusi terhadap
Adipati Wirasaba dimanapun dapat ditemukan.
Sultan
pulang ke istana dan memeriksa putri Wirasaba. Ternyata pengaduan putra Demang
Toyareka tidak benar.
Sang
Adipati Wirasaba tidak bersalah. Karena itu, Sultan mengirimkan kembali tiga
orang gandek untuk mencegah hukuman mati yang ditimpakan kepada Adipati
Wirasaba.
Pamali
Adipati Warga Utama I menjadi kisah legendaris bagi keturunannya, khususnya
masyarakat Banyumas. Pamali hari sabtu pahing dalam teks ini memang dilengkapi
dari tradisi lisan dan teks-teks lain Babat banyumas dengan hari sabtu. Ada
kemungkinan, teks sejarah Wirasaba merupakan teks yang tua yang hanya menyebut
hari pahing saja.
Hari Naas Sabtu Paing
Sementara
itu Adipati Wirasaba dalam perjalanannya pulang mampir di rumah sahabatnya,
yaitu Kiai Ageng Bener. Di situ, Sang Adipati disuguh nasi dengan lauk pindhang
banyak dan duduk di bale bapang (bale malang).
Ketika
sedang menikmati hidangannya, Sang Adipati melihat ada tiga orang gandek
menyusulnya. Sang Adipati menanyakan keperluan mereka. Namun, ketiga orang
gandek itu mempersilahkan Sang Adipadi untuk menyelesaikan hidangannya.
Pada
saat itu, tiga orang gandek yang menyusul telah datang. Mereka
melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan agar hukuman mati dibatalkan. Tetapi
ketiga gandek yang sedang menunggu Sang Adipati tidak tahu isyarat itu. Bahkan
isyarat itu dianggap sebagai tanda untuk segera melaksanakan perintah Sultan
Pajang.
Sudah
menjadi takdir, Sang Adipati ditusuk dadanya dan luka parah. Di situ, kedua
rombongan gandek bertengkar saling menyalahkan. Meskipun luka, Sang Adipati
sempat menasehati mereka agar tidak bertengkar dan melaporkan kepada Sultan
bahwa hukuman mati telah dilaksanakan tanpa dicegah oleh gandek yang datang
kemudian. Sang Adipati juga menyatakan bahwa kesalahpahaman gendek dan perintah
Sultan adalah sarana takdir atas kematiannya.
Sebelum
meninggal, Sang Adipati memberikan pamali kepada keturunannya :
//
anak putu aja ana kang met mantu/ wong ing Toyareka benjing/ lan aja nganggo
ing besuk/ jaran wulu dhawuk abrit/ poma ing wawekas ingong/lawan aja nganggo
bale bapang besuk /lan aja ana kang mangan/ iwak banyak wekas ingsun/aja lungan
dina pahing/ poma iku wekas ingong//
Pamali Sakral
Legenda
hari pahing memang tidak terlepas dari keempat pamali lainnya, bahkan kelima
pamali itu merupakan pamali sakral dan bukan pamali yang profan. Kelima pamali
itu merupakan satu kesatuan yang saling berinterrelasi dan memunculkan makna
yang utuh.
Pamali
yang pertama terkait dengan Toyareka. Toyareka bukanlah nama asli, tetapi nama
rekaan. Tokoh Demang Toyareka sering disebut dengan nama Raden Bagus Joko
Suwarjo. Kadangkala Toyareka disebut juga Banyureka. Toyareka adalah pembawa
fitnah yang memulai segala peristiwa.
Toya
artinya banyu dalam klasifikasi berada di sebelah timur. Timur adalah awal mula
peristiwa sebagaimana matahari terbit dari timur.
Sejarah Wirasaba (pantangan daging
angsa) I
Setelah
pada bagian sebelumnya anda mengenal pamali tentang hari larangan untuk
melakukan aktifitas, berikut ini simaklah tentang pamali daging angsa. Pada
bagian ini akan diceritakan mengenai pamali daging angsa, silsilah umum Adipati
Warga Utama, Keturunan Banyak dan Penjelmaan Siwa.
Pamali
bale bapang. Bale bapang atau bale malang dibangun untuk menghubungkan rumah
induk dan pendapa. Jadi, fungsi bale bapang adalah sebagai jalan dari rumah
induk menuju pendapa. Adipati Warga Utama I makan pindang banyak di
tengah-tengah jalan. Bale bapang adalah alam antara hidup dan mati, nyata dan
maya, awal dan akhir, dll. Masa peralihan adalah masa yang penuh krisis,
bahasa, konflik, dan mungkin chaos. Karena itu, bangsa-bangsa kuno melakukan
upacara inisiasi pada kasus kematian dari anggota masyarakatnya.
Upacara
inisiasi merupakan sarana pelepasan dari anggota masyarakat manusia menuju
masyarakat yang baru, yaitu masyarakat roh. Upacara inisiasi tidak lebih
sebagai upacara perpisahan. Pihak yang ditinggalkan mendapatkan kesedihan dan
kehilangan, sementara pihak yang pergi dalam kondisi tidak menentu. Ada yang
pergi ada yang datang.
Pamali
hari sabtu pahing pada saptawara adalah hari ketujuh atau hari terakhir. Hari sabtu
disebut sanaiscara dalam kalender Jawa Kuno sebagai hari istirahat. Hari Sabath
dalam bahasa Ibrani berati istirahat, yaitu hari terakhir dari pekan (sabtu)
dianggap sebagai hari istirahat suci orang Yahudi sejak dahulu kala. Pamali hari sabtu mungkin muncul karena
ada perubahan zaman dari Hindu ke Islam. Hari Jumat menggantikan sanaiscara
(sabtu) sebagai hari suci. Hari sabtu menempati arah selatan seperti halnya
pahing.
Warga Utama
Arah
selatan melambangkan darah, keturunan ibu (matrilineal), warna merah, dan huruf
jawa da-ta-sa-wa-la. Keturunan ibu memiliki watak ibu dan garis matrilineal.
dan garis ibu, Adipati Warga Utama I adalah keturunan ketujuh (gantung siwur)
para Adipati Pasirluhur :
1.
Kanda Daha (pasirluhur)
2.
Ciptararas (istri banyak catra atau kamandaka)
3.
Banyak Wirata (pasirluhur)
4.
Banyak Rama (pasirluhur)
5.
banyak Besi (pasirbatang)
6.
Dewi Lungge (istri Adipati Wirasaba Sura Utama)
7.
Warga Utama I
Warga
Utama I sebagai keturunan ketujuh gantung siwur berkaitan dengan hari sabtu sebagai
hari ketujuh. Angka tujuh termasuk golongan angka yang penting, misalnya,
digunakan untuk bangunan Candi gedong SOngo dengan gedong Pitu, Bendungan
waringin Sapta di Sungai Brantas yang dibangun pada zaman Airlangga, Ibukota
Mataram Hindu di Mdang Ri Poh Pitu, Keris Gandring oleh Raja Pipitu, Ksatria
Werkudara disebut Gendeng Pitu, ada dendam tujuh turunan, dll. Kata pitu
berarti nenenk dari nenek. Jadi, pitu melambangkan nenek moyang dari Warga
Utama I.
Huruf
Jawa da-ta-sa-wa-la menunjuk kepada perselisihan anatar Warga Utama denga
demang Toyareka, yang menyebabkan bencana, pralaya atau mengalami jaman kali.
Perselisihan dilanjutkan dengan kesalahpahaman dua rombongan gandek Sultan
Pajang yang menyebabkan kematian Warga Utama I.
Keturunan Banyak
Darah
atau getih disamping sebagai lambang kematian, juga lambang keturunan. Warga
Utama I dari garis ibu merupakan keturunan Marga Banyak (angsa). Angsa atau
banyak adalah binatang totem keluarganya. Karena itu muncul pamali kelima,
yaitu makan pindang banyak. Larangan membunuh binatang totem adalah ketakutan
pada si anak. Binatang totem adalah subtitut bagi ayah yang mengancam dalam
kondisi Oedipus Complex. Menurut Freud, totemistis tidak lain daripada
mengenangkan peristiwa pembunuhan itu. Peristiwa pembunuhan ayah mengakibatkan
rasa bersalah pada si anak, kemudian menjadi fundamen totemisme (Bertens,
1991).
Selanjutnya,
pamali totem diiringi dengan pamali menikahi wanita dari klan yang sama. Karena
itu Adipati Wirasaba memberikan pamali tidak boleh mengambil menantu dari
keturunan Toyareka. Toyareka masih satu klan dengan Adipati Warga Utama I.
Selain itu, Toyareka juga telah tega memfitnah saudaranya sendiri hingga
celaka.
Kegagalan
perakwinan diantara anggota klan yang sama dapat mengakibatkan perpecahan dan
permusuhan. Perkawinan putri Warga Utama I dengan putra Demang Toyareka menjadi
contoh model perkawinan anggota klan yang tidak baik, bahkan berakibat bencana.
Sejarah Wirasaba (pantangan daging
angsa) II
Penjelmaan Siwa
Di
samping itu, Angsa atau banyak dalam agama Hindu merupakan wahana Dewa Brahma
sebagai dewa pencipta. Dalam ajaran dari aliran Siwa Sidhanata disebutkan
adanya lima aksara yang melambangkan penjelmaan Siwa yang berhubungan dengan
keempat arah mata angin. Penjelmaan siwa dalam pancaaksara berada di sebelah
selatan, yaitu Ma sebagai Dewa brahma. Brahma sebagai causa prima
(sangkanparaning dumadi) juga ditemukan pada kompleks percandian Prambanan. Di
situ ada tiga candi induk, yaitu Candi Wisnu, Candi Siwa dan Candi Brahma.
Ketiga bangunan itu dilengkapi dengan tiga candi wahana. Candi wahana Brahma
adalah Angsa.
Angsa
selain menjadi binatang totem bagi keluarga Warga Utama I, juga menjadi seimbol
dewa pencipta yaitu Brahma. Maka dari itu, memakan Banyak, seliain tidak
menghormati binatang totem juga mematikan atau melupakan Sang Maha Pencipta.
Bangsa-bangsa kuno memiliki kepercayaan totemisme atau binatang suci yang tidak
boleh digangu, dibunuh atau dimakan.
Totemisme
muncul karena adanya anggapan bangsa-bangsa itu mempunyai hubungan kekuatan
gaib dengan sekelompok orang, sesekali dengan seseorang, dan segolongan
binatang atau tumbuhan atau benda material (Baal, 1987). Totemisme sering
dipakai oleh banyak anggotanya untuk menelusuri identitasnya dari suatu simbol
bersama sering lewat asal-usul suatu leluhur atau sekelompok bersama.
Angsa
atau banyak merupakan simbol bersama masyarakat Banyumas terhadap leluhurnya
yang berasal dari Padjadjaran, yakni Banyak Catra. Banyak Catra dan
keturunannya yang menjadi Adipati Pasirluhur dan Pasirbatang menggunakan nama
Banyak. Dengan demikian, Angsa adalah lambang yang berkaitan dengan awal-mula,
Maha pencipta, dinasti (wangsakerta), dll. Oleh karena itu, warga Utama I
memberikan pamali tersebut sebagai pengejawantahan kesadaran historis
leluhurnya.
Kesadaran
itu merupakan peringatan agar keturunannya tidak mengalami peristiwa naas yang
sama. Pamali ini telah menjadi legenda di kalangan masyarakat Banyumas, baik
keturunan asli maupun pendatang. Pencarian makna pamali tersebut diharapkan
dapat mengubah citra pamali sebagai tugu yang mati. Tanpa ada pemahaman makna
pamali, maka pamali tersebut akan menjadi vampire yang menakutkan bagi
masyarakat pewarisnya.
Sejarah Wirasaba (jaka kaiman
diangkat jadi adipati)
Sepeninggal
Adipati Wraga Utama I, Sultan Pajang menyesal atas tindakannya. Kemudian,
Sultan memanggil para putera Adipati Warga Utama I. Namun, Ki Ageng Senon dan
Ki Wirawijaya tidak bersedia memenuhi panggilan raja. Mereka takut akan
mengalami nasib yang sama dengan orang tuanya. Karena itu, Jaka Kaiman bersedia
berangkat ke Pajang. Ia rela menanggung dosa mertuanya.
Sebaliknya
jika ia mendapat anugerah raja, ia meminta agar kedua saudara iparnya tidak iri
hati, tidak mengganggu keturunannya dan keturunan Kaiman tetap memerintah di
Wirasaba.
4 komentar:
terima kasih infonya kakakk
Ealah endah setyaningsih ta sing posting. Hha
Ealah endah setyaningsih ta sing posting. Hha
Kakak, ada yang versi bahasa jawanya kah?
Posting Komentar